Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar ummat Muslim di dunia. Data Sensus Penduduk 2010 menunjukkan ada sekitar 87,18% atau 207 juta jiwa dari total 238 juta jiwa penduduk beragama Islam. Walau Islam menjadi mayoritas, namun Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam.[1]
Inilah yang menyebabkan negara-negara yang
bermayoritaskan Islam rentan akan konflik. Negara yang mayoritas Islam tapi
tidak berideologikan Islam. Antara Konstitusi negara dan hukum Islam terkadang
bertolak belakang.
Indonesia yang menganut sistem pemerintahan
Demokrasi, yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan
keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.Demokrasi mengizinkan warga negara
berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan,
pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial,ekonomi,
dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan
setara.[2]
Sistem pemerintahan mempunyai sistem
yang tujuan untuk menjaga suatu kestabilan negara itu. Namun di beberapa negara
sering terjadi tindakan separatisme karena sistem pemerintahan yang dianggap
memberatkan rakyat ataupun merugikan rakyat. Sistem pemerintahan mempunyai
fondasi yang kuat dimana tidak bisa diubah menjadi statis. Jika suatu pemerintahan
mempunya sistem pemerintahan yang statis, absolut maka hal itu akan berlangsung
selama-lamanya hingga adanya desakan kaum minoritas untuk memprotes hal
tersebut. Secara luas berarti pengertian sistem pemerintahan itu menjaga
kestabilan masyarakat, menjaga tingkah laku kaum mayoritas maupun minoritas,
menjaga fondasi pemerintahan, menjaga kekuatan politik, pertahanan, ekonomi,
keamanan sehingga menjadi sistem pemerintahan yang kontinu, demokrasi dimana
seharusnya masyarakat bisa ikut turut andil dalam pembangunan sistem
pemerintahan tersebut. Hingga saat ini hanya sedikit negara yang bisa
mempraktikkan sistem pemerintahan itu secara menyeluruh. Secara sempit, Sistem
pemerintahan hanya sebagai sarana kelompok untuk menjalankan roda pemerintahan
guna menjaga kestabilan negara dalam waktu relatif lama. mencegah adanya
perilaku reaksioner maupun radikal dari rakyatnya itu sendiri.[3]
Indonesia baru-baru ini di hebohkan
dengan gerakan para ulama-ulama, kiyai habib, dan masyarakat musilim Indonesia,
atau lebih dikenal dengan gerakan 411 (4 Novermber 2016) . Gerakan ini
bertujuan agar kasus Ahok segera diproses hukum. Menurut Fatwa MUI (Majelis
Ulama Indonesia), Bahwa ahok sudah melakukan pelanggaran hukum tetang Penistaan
Agama. Dalam kasus ini ahok berbicara di depan masyarakat di kepulauan seribu,
yang pada intinya ahok berbicara “jangan mau dibohongi pake surat al-maida 51”
Islam memang
sangat rentan dengan statmen-statmen yang menyinggung agamanya, apalagi itu
dilakukan oleh sosok pemimpin Negara yang non Muslim. Yang membuat seluruh
muslim Indonesia geram dengan perkataan
tersebut.
Menurut para ulama maupun kiyai Indonesia.
Islam itu, pada dasar tidak memperbolehkan pemimpin non muslim. Dalam Islam
sendiri menjelaskan, muslim yang memilih pemimpin non muslim itu haram
hukumnya. Sebenarnya hal yang demikian justru bertolak belakang dengan system pemerintahan
Indonesia. Indonesia dalam demokrasinya mengizinkan setiap warga negara
Indonesia berpartisipasi baik dalam memilih maupun mencalonkan diri sebagai
pemimpin secara bebas dan setara. Indonesia sendiri ada 5 agama yang di sahkan dalam
Undang-undang yaitu, Islam, Kristen, Budha, Katholik dan konguchu. Sebenarnya, sudah
seharusnya seorang muslim harus bisa memhami
konteks hukum islam dan idelogi negara .
Dalam penjelasan di atas timbul
pertanyaan, kenapa Tokoh Islam ataupun partai politik Islam tidak pernah menang
dalam Pemilu ? apakah indonesia tidak bisa melahirkan tokoh ataupun partai
Islam yang “baik”. Yang bisa menjaga kesatuan Negara. Menurut saya Indonesia sudah
seharusnya di Pimpin oleh Tokoh Politik Islam yang adil dan partai Islam yang
bisa dipercaya. Agar jalanya kesatuan Negara Indonesia (NKRI) dan setabilnya
pemerintahan. Agar mencegah adanya perilaku reaksioner maupun radikal dari
rakyatnya itu sendiri
Di Indonesia , dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama Islam mengalami jalan buntu. Baik Rezim Presien Soekarno maupun Presiden Soeharto memandangi partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai kekuatan-kekuatan pesaing potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Terutama karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat decade, kedua pemerintahan di atas keras berupaya untuk melemahkan dan “menjinakkan” partai-partai Islam. Akibatnya, tidak saja pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar Ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka).[1]
Yang lebih meyedihkan lagi, Islam
politik seringkali menjadi sasaran tembak ketidakpercayaan, dicurigai menentang
ideology Negara pancasila. Sementara itu, pada sisi lainnya, kaum Muslim yang
aktif secara politik juga memandang Negara dengan mata curiga. Terlepas dari
keiginan Negara untuk mengakui dan membantu kaum muslim dalam mempraktikkan
ritual-ritual agama mereka, mereka memandang Negara tengah melakukan maneuver
untuk merontokkan signifkansi politik Islam dan pada saat yang sama mendukung
gagasan mengenai sebuah masyarakat poltik yang secular. Situasi ini bahkan
seringkali dipandang sebagai indikasi bahwa Negara menerapkan kebijakan ganda
terhadap Islam. Yakni, sementara mengizinkan dimensi ritual Islam tumbuh
berkembang, Negara sama sekali tidak member ruang atau kesempatan bagi
berkembangnya Islam politik. Dalam soal ini, cukuplah dikatakan bahwa saling
curiga antara Islam dan Negara berlangsung disebuah Negara yang sebagian besar
penduduknya beragama Islam.
Mengapa yang demikianlah yang
berlangsung? Faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan permusuhan seperti itu?
Adakah jalan keluar darinya, yakni jalan keluar
yang mengubah
hubungan politik antara islam dan Negara dari saling dendam dan curiga menjadi
saling ramah-tamah dan menguntungkan?. Dan Apakah Islam bisa sungguh-sungguh
sejalan dengan sistem politik modern ?
Islam
adalah sebuah agama yang multiintrepretatif, membuka kemungkinan kepada banyak
penafsiran mengenainya. Meskipun pada tingkat yang paling umum hanya ada satu
Islam, bentuk dan ekspresinya beragam dari satu individu Muslim ke individu
Muslim lainnya. Munculnya mazhab fiqih, teologi, dan filsafat Islam, misalnya,
menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam itu multiintrepretatif. Corak multiintrepretatif
ini telah berperan sebagai dasar dan kelenturan Islam dalam sejarah.
Menurut
paham saya tentang artikel tersebut, inilah yang sedang terjadi di Indonesia,
dan memang sudah di perkirakan terjadi atara Ideologi Negara dan Hukum Islam akan
sering mengalami perbedaan pendapat. Antara tokoh nasionalis dan ulama Indonesia
untuk memahami Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Inilah
yang menjadi tantangan bagi Indonesia, para mahasiswa, tokoh politik, para ulama
dan tentunya seluruh masyarakat Indonesia. Agar lebih sadar akan perbedaan hukum
islam dan konstitusi negara. Agar terciptanya Negara Indonesia yang sejahtera,
adil, aman dan tentram .
TRIMAKASIHH
SEMOGAA BERMANFAAT
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
[2] http://www.kamusjenius.com/2015/06/mengenal-macam-macam-demokrasi-di.html
[3] http://sistempemerintahanindonesia.com/
[4] Bahtiar Effendy, ISLAM DAN
NEGARA (Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Graha Pramadina,
Jakarta Selatan, 2009, hlm. 2-3.
0 komentar:
Posting Komentar
Trimakasih atas kunjungannya , Semoga bermanfaat .
Jika anda masih binggung silakan berkomentar , secepatnya admin akan membalas komentar anda .